Spiga

salamsuper

DRAF Terakhir RUU APP


DRAF RUU TENTANG
ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI
HASIL PEMBAHASAN TIM PERUMUS - DPR RI

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN
TENTANG
PORNOGRAFI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila yang menghormati kebhinnekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang bertanggung jawab melindungi setiap warga negara, harkat dan martabat manusia, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, kepribadian luhur yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. bahwa dampak globalisasi dan kondisi kesejahteraan masyarakat yang berpengaruh terhadap pembuatan, penyebarluasan, penggunaan pornografi dan perbuatan asusila dalam masyarakat sangat memprihatinkan dan dapat mengancam kepribadian generasi bangsa dan tatanan kehidupan sosial masyarakat Indonesia;
c. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi dan tindak kecabulan yang ada sampai
d. saat ini sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum dalam rangka melestarikan tatanan kehidupan dan ketertiban bermasyarakat serta penegakan hukum;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pornografi;
Mengingat :
1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 J, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Tap MPR VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa;
3. Pasal 281, 282, 283, 284 UU No. 1/1946 Tentang KUHP dan UU No. 32/2002 tentang Penyiaran;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang Undang ini yang dimaksudkan dengan :
1.. Pornografi adalah hasil karya manusia yang memuat materi seksual dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, atau bentuk-bentuk pesan komunikasi lain melalui media dan/atau pertunjukan di depan umum, untuk membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar kesusilaan masyarakat.
2. Pornografi anak adalah segala bentuk penggarabaran visual, termasuk foto, film, video, gambar, atau komputer atau citra atau gambar yang dihasilkan komputer, baik dibuat atau diproduksi dengan peralatan elektronik, mekanis maupun peralatan lainnya.
3. Membuat adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan memproduksi materi media massa cetak, media massa elektronik, media komunikasi lainnya, dan barang­barang pornografi.
4. Menyebarluaskan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan mengedarkan materi media massa cetak, media massa elektronik, media-media komunikasi lainnya, dan mengedarkan barang-barang yang mengandung sifat pornografi dengan cara memperdagangkan, memperlihatkan, memperdengarkan, mempertontonkan, mempertunjukan, menyiarkan, menempelkan, dan/atau menuliskan.
5. Menggunakan adalah kegiatan memakai materi media massa cetak, media massa elektronik, alat komunikasi medio, dan barang dan/atau jasa pornografi.
6. Media massa cetak adalah alat atau sarana penyampaian informasi dan pesan­pesan secara visual kepada masyarakat luas berupa barang-barang cetakan massal antara lain buku, suratkabar, majalah, dan tabloid.
7. Media massa elektronik adalah alat atau sarana penyampaian informasi dan pesan-­pesan secara audio dan/atau visual kepada masyarakat luas antara lain berupa radio, televisi, film, dan yang dipersamakan dengan film.
8. Alat komunikasi medio adalah sarana penyampaian informasi dan pesan-pesan secara audio dan/atau visual kepada satu orang dan/atau sejumlah orang tertentu antara lain berupa telepon, Short Message Service, Multimedia Messaging Service, surat, pamflet, leaflet, booklet, selebaran, poster, dan media elektronik baru yang berbasis komputer seperti internet dan intranet.
9. Barang pornografi adalah semua benda yang materinya mengandung sifat
10. pornografi antara lain dalam bentuk buku, suratkabar, majalah, tabloid dan media cetak sejenisnya, film, dan/atau yang dipersamakan dengan film, video, Video Compact Disc, Digital Video Disc, Compact Disc, Personal Computer-Compact Disc Read Only Memory, dan kaset.
11. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang diperoleh antara lain melalui telepon, televisi kabel, internet, dan komunikasi elekronik lainnya, dengan cara memesan atau berlangganan barang-barang pornografi yang dapat diperoleh secara langsung dengan cara menyewa, meminjam, atau membeli.
12. Pengguna adalah setiap orang yang dengan sengaja menonton/ menyaksikan pornografi dan/atau pornoaksi.
13. Setiap orang adalah orang perseorangan, perusahaan, atau distributor sebagai kumpulan orang baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum.
14.. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan.
15. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Presiden.
16. Mengeksploitasi adalah kegiatan memanfaatkan perbuatan pornoaksi untuk tujuan mendapatkan keuntungan materi atau non materi bagi diri sendiri dan/atau oranglain.
17. Hubungan seks adalah kegiatan hubungan perkelaminan baik yang dilakukan oleh pasangan suami-isteri maupun pasangan lainnya yang bersifat heteroseksual, homoseks atau lesbian.
18. Data elektronik adalah segala bentuk informasi yang telah tertata, tersusun atau terstruktur, baik dalam format database, teks, gambar, audio maupun video, yang dibuat dan/atau disajikan dengan menggunakan peralatan elektronik.
BAB II
ASAS, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Bagian Pertama
Asas dan Tujuan
Pasal 2
Pengaturan terhadap pornografi berasaskan penghormatan terhadap nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab, kebhinnekaan, kepastian hukum dan perlindungan terhadap warga negara khususnya bagi perempuan dan anak dari dampak negatif pornografi.
Pasal 3
Anggota Tim Perumus Draf RUU tentang APP bersepakat Undang-Undang tentang Pornografi bertujuan :
a. Mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, mempertahankan dan memperkokoh kepribadian luhur bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
b. Memberikan perlindungan, pembinaan, pendidikan moral dan akhlak masyarakat serta kepastian hukum yang mampu melindungi setiap warganegara, terutama anak dan perempuan dari eksploitasi seksual.
c. Mencegah dan menghentikan berkembangnya komersialisasi seks dan eksploitasi seksual baik industri maupun distribusinya.
Bagian Kedua
Ruang Lingkup
Pasal 4
Ruang lingkup yang diatur dalam undang-undang tentang Pornografi (dan Pornoaksi) mencakup:
a. Pembuatan yang meliputi kegiatan atau serangkaian kegiatan memproduksi materi media massa cetak, media massa elektronik, media komunikasi lainnya, dan barang-­barang pornografi.
b. Penggandaan terdiri dari kegiatan atau serangkaian kegiatan untuk memperbanyak materi media massa, media massa elektronik, media komunikasi lainnya, dan barang-­barang pornografi.
c. Penyebarluasan yang meliputi segala kegiatan atau serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengedarkan materi media massa cetak, media massa elektronik, media-media komunikasi lainnya, dan mengedarkan barang-barang yang mengandung sifat pornografi dengan cara memperdagangkan, memperlihatkan, memperdengarkan, mempertontonkan, mempertunjukan, menyiarkan, menempelkan, dan/atau menuliskan serta korban sebagai akibat yang ditimbulkan.
d. Penggunaan mencakup segala kegiatan yang memakai materi media massa cetak, media massa elektronik, alat komunikasi medio, dan barang dan/atau jasa pornografi.
e. Setiap orang yang menyediakan dana (sponsor), sarana, prasana, media dalam penyelenggaraan pornografi.
BAB III
PENGATURAN
Bagian Pertama
Larangan
Pasal 5
Setiap orang dilarang :
a. membuat dan/atau menggandakan pornografi;
b. menyebarluaskan pornografi;
c. menggunakan pornografi; dan/atau
d. menyediakan dana dan/atau sarana-prasarana.
Pasal 6
Pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 terdiri dari:
a. Pornografi ringan, yaitu penggambaran pinggul, pantat, dan payudara; dan
b. Pornografi berat, yaitu penggambaran:
1) alat kelamin dan/atau ketelanjangan tubuh orang dewasa;
2) aktivitas orang melakukan masturbasi atau onani;
3) aktivitas orang berhubungan seks atau melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks;
a)dengan pasangan berlawanan jenis;
b) dengan pasangan sejenis;
c)dengan anak-anak;
d) dengan orang yang telah meninggal dunia;
e)dengan hewan.
c. Pornografi anak mencakup perbuatan penggambaran aktivitas hubungan seks atau aktivitas yang mengarah atau mengesankan pada hubungan seks yang melibatkan anak.
Pasal 7
(1) Setiap orang dilarang menjadi obyek atau model pornografi.
(2) Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai obyek atau model pornografi.
Bagian Kedua
Pembatasan
Pasal 8
(1) Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 15 tidak meliputi:
a. pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi untuk tujuan:
1) pendidikan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan, sesuai dengan tingkat pendidikan dan bidang studi;
2) pengobatan gangguan kesehatan seksual;
b. pertunjukan seni dan budaya;
c. adat istiadat dan tradisi;
d. pembuatan, pemilikan dan penggunaan pornografi untuk kepentingan pribadi.
(2) Pendidikan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 terbatas pada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan yang memperoleh izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengobatan gangguan kesehatan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi dari dokter, rumah sakit dan/atau lembaga kesehatan yang memperoleh izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Pertunjukan seni dan budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan oleh lembaga kesenian dan kebudayaan di tempat khusus untuk pertunjukan seni dan budaya dan mendapat izin pejabat berwenang.
Pasal 9
Setiap orang yang membuat, menyebarluaskan, memiliki, dan/atau menggunakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dan d berkewajiban menjaga pornografi tersebut agar penggunaannya sesuai dengan pembatasan dalam undang-undang ini.
Pasal 10
Setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat dituntut berdasarkan pelanggaran larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 11
(1) Pembuatan dan penyebarluasan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) hanya dapat dilakukan di tempat-tempat khusus yang telah mendapat izin dari Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
(3) Setiap orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dituntut berdasarkan pelanggaran larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 12
(1) Setiap orang yang melanggar izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), Pasal 10 ayat (3), dan Pasal 11 ayat (1) dikenakan sanksi administratif.
(2) Sanksi adminitratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. pembekuan kegiatan usaha; dan/atau
d. pencabutan izin usaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
BAB IV
PORNOGRAFI ANAK
Pasal 13
Setiap orang wajib melakukan segala tindakan yang diperlukan, sehingga anak tidak memperoleh akses terhadap materi pornografi da/atau materi pornografi anak yang ditampilkan melalui telekomunikasi, multimedia dan informatika, termasuk pula dan pementasan.
Pasal 14
Setiap anak baik korban atau pelaku dalam pornografi dan dan pornografi anak berhak memperoleh pembinaan, pendampingan serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental dari negara, keluarga, lembaga sosial, lembaga pendidikan, rohaniawan dan/atau masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Pasal 15
Setiap orang dilarang menjadikan anak sebagai obyek atau model pornografi.
BAB V
PENCEGAHAN
Bagian Pertama
Peran Pemerintah
Pasal 16
Pemerintah melakukan pencegahan dan pemberantasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang tidak sesuai dan/atau bertentangan dengan undang-undang ini.
Pasal 17
Untuk melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Pemerintah dan Pemerintah Daerah berwenang:
a. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan dan/atau penggunaan pornografi; dan
b. melakukan kerjasama dengan berbagai pihak baik dalam/luar negeri dalam pencegahan dan pemberantasan pembuatan, penyebarluasan dan/atau penggunaan pornografi yang tidak sesuai dan/atau bertentangan dengan undang-undang ini.
c. Menyusun peraturan daerah dalam rangka pencegahan dan pemberantasan pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi yang tidak sesuai dan/atau bertentangan dengan undang-undang.
d. koordinasi antar instansi pemerintah erkait dalam penyiapan dan penyusunan kebijakan pencegahan dan penanggulangan masalah pornografi;
e. koordinasi antar instansi pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan pencegahan dan penanggulangan masalah pornografi;
f. koordinasi antar instansi pemerintah dalam mengatur pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan barang pornografi dan jasa pornografi untuk tujuan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan;
g. mengoperasikan satuan tugas yang terdiri dari unsur pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing;
h. membangun dan mengembangkan sistem komunikasi, informasi dan edukasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan masalah pornografi.
i. pemutusan jaringan pembuatan, dan penyebarluasan barang pornografi, dan jasa pornografi;
Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat
Pasal 18
(1) Setiap orang dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi yang tidak sesuai dan/atau bertentangan dengan undang-undang ini.
(2) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara:
a. melaporkan pelanggaran undang-undang ini;
b. advokasi;
c. sosialisasi; dan
d. pembinaan lingkungan masyarakat.
(3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) harus dilaksanakan dengan undang-undang yang berlaku.
Pasal 19
Setiap orang yang melaporkan terhadap pelanggaran undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) berhak mendapat perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
BAB VI
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 20
Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 21
Alat bukti selain sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum acara pidana, termasuk juga sebagai alat bukti dalam perkara tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini adalah:
a. barang yang menyimpan teks dalam bentuk cetakan;
b. barang yang menyimpan gambar, suara ataupun film baik elektronik atau optik.atau dalam bentuk apapun penyimpanan data; dan/atau
c. data yang tersimpan dalam jaringan internet maupun penyedia saluran komunikasi lainya.
Pasal 22
(1) Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik berhak membuka akses, memeriksa dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam file komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.
(2) Untuk kepentingan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik dapat meminta kepada pemiliki data dan penyedia jasa layanan elektronik untuk menyerahkan dan/ atau membuka data elektronik yang dimaksud dan harus diberikan tanda terima.
Pasal 23
(1) Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa data elektronik itu ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, maka data elektronik tersebut dilampirkan pada berkas perkara.
(2) Dalam hal tidak ada hubungannya dengan perkara, maka data elektronik tersebut dihapus.
(3) Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan isi data elektronik yang dihapus.
Pasal 24
Penyidik membuat Berita Acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 b dan Pasal 23 c dan mengirim turunan Berita Acara tersebut kepada pemilik atau penyedia jasa layanan elektronik dimana data tersebut didapatkan.
BAB VII
PEMUSNAHAN
Pasal 25
(1) Terhadap hasil penyitaan dan perampasan barang yang tidak berijin, atau berdasarkan putusan pengadilan.dilakuka

n Pemusnahanterhadap barang pornografi tersebut.
(2) Pemusnahan barang pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum.
(3) Pemusnahan barang pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat :
a. nama media apabila barang disebarluaskan melalui media massa cetak dan/atau media massa elektronik;
b. nama dan jenis serta jumlah barang yang dimusnahkan;
c. hari, tanggal, bulan dan tahun pemusnahan;
d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan; dan
e. tanda tangan dan identitas Iengkap para pelaksana dan pejabat yang melaksanakan dan menyaksikan pemusnahan.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 26
(1) Setiap orang yang membuat pornografi ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dan Pasal 6 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,-(lima ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal membuat pornografi ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan anak-anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
(3) 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun 8 (delapan) bulan dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 700.000.000,-(tujuh ratus juta rupiah).
Pasal 27
(1) Setiap orang yang membuat pornografi berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dan Pasal 6 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal membuat pornografi berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan anak-anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan paling lama 13 (tiga belas) tahun 4 (empat) bulan dan pidana denda paling sedikit Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah).
Pasal 28
(1) Setiap orang yang menyebarluaskan pornografi ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dan Pasal 6 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah).
(2) Dalam hal menyebarluaskan pornografi ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan anak-anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(3) (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 650.000.000,- (enam ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah).
Pasal 29
(1) Setiap orang yang menyebarluaskan pornografi berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dan Pasal 6 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau paling lama 13 (tiga belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 650.000.000,- (enam ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal menyebarluaskan pornografi berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan anak-anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun 5 (lima) bulan dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 700.000.000,- (tujuh ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.500.000.000 (tiga miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 30
(1) Setiap orang yang menggunakan pornografi ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c dan Pasal 6 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun atau paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)
(2) Dalam hal menggunakan pornografi ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan anak-anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun 8 (delapan) bulan dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 31
(1) Setiap orang yang menggunakan pornografi berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c dan Pasal 6 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 550.000.000,- (lima ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Dalam hal menggunakan pornografi berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan anak-anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200..000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 650.000.000 (enam ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 32
(1) Setiap orang yang menyediakan dana dan/atau sarana-prasarana bagi orang lain untuk melakukan kegiatan dan/atau pameran pornografi ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d dan Pasal 6 huruf a dipidana dengan pidana
(2) penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 14 (empat belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang menyediakan dana dan/atau sarana-prasarana bagi orang lain untuk melakukan kegiatan dan/atau pameran pornografi berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d dan Pasal 6 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.750.000.000,- (dua milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 33
Setiap orang yang menjadi obyek atau model pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,-(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 34
(1) Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai obyek atau model pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun 6 (enam) bulan dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengandung unsur kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 850.000.000,- (delapan ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 35
(1) Setiap orang yang menjadikan anak sebagai obyek atau model pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun 6 (enam) bulan dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengandung unsur kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun 6 (enam)
(3) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 850.000.000,- (delapan ratus lima puluh juta rupiah).
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 36
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
DR. HAMID AWALUDIN SH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN


0 komentar: