Spiga

salamsuper

Heart Intelligence

HATI memang sebuah teka-teki yang abadi, demikian seorang sahabat
seniman pernah bertutur jernih. Sebagaimana sifat teka-teki, ia
mengundang keingintahuan. Dalam sebuah perjalanan perenungan ke
dalam, pernah terdengar lagu kanak-kanak yang liriknya berbunyi
begini: cangkul, cangkul, cangkul yang dalam. Seperti sedang
menasihati, mencangkullah yang dalam.

Diterangi oleh inspirasi seperti inilah, tidak sedikit sahabat
menghabiskan seluruh waktunya mencangkul yang dalam. Oleh karena di
dalam ini serupa dengan hutan belantara, yang luasnya belum ada yang
bisa menghitungnya secara persis, batas-batasnya masih problematik
sampai sekarang, maka praktis kegiatan mencangkul ke dalam bukanlah
sebuah persoalan mudah.

Namun setidak mudah apapun bentuknya, sejumlah orang sedikit sekali
berdebat namun langsung mulai berjalan. Secara lebih khusus karena
tidak selamanya perdebatan membawa manusia bergerak ke depan. Dan
mulai berjalan, entah lurus atau berputar, senantiasa memberikan
tambahan inspirasi di dalam sini. Dibekali keberanian seperti ini,
ada yang memulai kegiatan mencangkul dengan mencangkul tubuh,
mencangkul pikiran, dan kemudian baru mencangkul di ladang-ladang
hati.

Mari kita mulai dengan mencangkul tubuh. Tubuh sebagai sekumpulan
daging yang berinteraksi cerdas satu sama lain, sudah lama menjadi
wilayah pembahasan biologi. Ilmu kedokteran bahkan tidak saja
menguasainya, melainkan juga meramu penyembuhan dari sana. Banyak
yang sepakat, kalau ada sebuah kecerdasan mengagumkan yang mengatur
interaksi daging di dalam tubuh.

Sebagaimana ciri pengetahuan manusia umumnya yang hipotesis dan
spekulatif sifatnya, kecerdasan pengatur tubuh ini juga hipotesis dan
spekulatif. Masih dalam tanda tanya besar, apa dan siapa manusia
ketika siap-siap memasuki kandungan ibu? Biologi berusaha
menerangkannya dengan bertemunya sprema positif dan negatif sebagai
titik awal pertumbuhan. Dan masih bisa diperdebatkan, betulkah
kehidupan manusia dimulai ketika sperma positif bertemu negatif?
Kalau benar demikian, apa atau siapa kekuatan yang menentukan
pasangan sperma ini ketemu dan menjadi manusia, sedangkan jutaan
pasang lain tidak ketemu, atau ketemu tetapi tidak jadi manusia?
Sama spekulatif dan hipotesisnya, sejumlah penekun kearifan timur ada
yang berani berspekulasi: kehidupan mulai dari ketiadaan (baca: Tao
yang bisa dijelaskan bukanlah Tao), dan berakhir dengan ketiadaan
yang sama. Agak sulit menerangkan ketiadaan ini dalam bahasa
pengetahuan manusia.

Satu-satunya bahasa manusia yang agak bisa mendekatinya adalah
energi. Energi ini kemudian menyebar menjadi semacam kecerdasan yang
berumah di dalam tubuh manusia. Penggalian akan tubuh, sebagai pintu
pembuka pada penggalian-penggalian berikutnya, bisa banyak membantu
manusia tatkala sudah sampai pada tingkatan energi ini. Ada yang
menekuninya dengan fisika, ada juga yang menekuninya dengan meditasi.

Penggalian Pikiran

Penggalian kedua menuju penggalian hati adalah penggalian pikiran.
Serupa dengan tubuh, pikiran bisa jadi teman bisa juga jadi lawan.
Bagi manusia yang sudah sampai di tingkatan tubuh sebagai serangkaian
energi, tubuh jadi kawan. Dan yang masih didikte oleh dagingnya,
tubuh jadi lawan. Pikiran juga serupa, terlalu banyak manusia yang
dikuasai dan dikendalikan pikiran.
Seolah-olah tidak ada kecerdasan yang lebih tinggi dari pikiran.

Makanya ada yang menulis, evolusi manusia selanjutnya adalah menjadi
lebih besar dari pikiran. Penggalian akan pikiran lebih mudah
dilakukan oleh setiap sahabat yang berani lebih besar dari
pikirannya. Awalnya, belajar berjarak terhadap pilihan-pilihan
pikiran. Tatkala senang, berbisiklah ke diri sendiri: habis senang
sedih. Setelah berjarak dengan pikiran, kemudian belajar menjadi
saksi alias pengamat pikiran. Persis seperti menjadi penonton sepak
bola, ada jarak dengan permainan (baca: pikiran), bisa netral tanpa
memihak, dan semuanya (menang atau kalah sama saja) berlalu membawa
makna. Hanya mereka yang tekun jadi saksi, menyelami lapisan-lapisan
makna, kemudian berhasil menggali pikiran secara mengagumkan.

Bermodalkan pengetahuan tubuh sebagai energi, pikiran yang hanya
pembantu, baru kemudian perjalanan penggalian hati bisa dilaksanakan
secara memadai. Demikian beratnya syarat bisa melakukan penggalian
hati ini, sampai-sampai ada yang menyebut hati dengan sebutan the
beyond. Yang tidak terjangkau, itulah sebutan banyak sahabat terutama
yang masih diperkuda tubuh dan pikirannya.

Salah seorang yang sudah sampai di sini pernah menulis: giving
transforming having into being. Sedikit berpikir banyak memberi,
itulah nasihatnya. Terutama karena pemberian adalah bahasa hati.
Following your bliss, demikian nasihat sahabat yang lain. Mengikuti
suka cita yang mendalam sekaligus menggetarkan. Kemana suka cita ini
memberi petunjuk jalan, ke sanalah kaki dilangkahkan.

Paula M. Reeves yang menulis Heart Sense pernah menunjuk sebuah
tempat di mana hati bermukim: heart lives in a spiritual realm deeply
connected to caverns and chambers and labyrinths of which ego knows
nothing. Hati, setidaknya menurut Reeves yang menyebutnya dengan
indera yang ketujuh, bermukim di wilayah spiritual yang terhubung
dengan ruang-ruang, gua-gua yang tersusun membingungkan, di mana ego
tidak banyak bisa membantu.

Jauh dan melelahkan memang, melakukan penggalian hati. Ada yang
tertarik menggali di sana? ***

Oleh GEDE PRAMA

1 komentar:

  Erdjon

2:46 PM

Terima kasih untuk sharingnya, memang yang menggerakkan semua langkah didalam diri seseorang adalah hatinya, baik maupun buruk.

Tanks banget.